Oleh:
Ahmad Sholeh
Kemarin,
kisah pilu soal terengutnya nyawa manusia akibat fanatisme brutal suporter
sepak bola kembali terjadi. Kejadian nahas itu dialami almarhum Haringga Sirila
(23 tahun), seorang suporter Persija Jakarta yang meninggal akibat dikeroyok
sekelompok oknum suporter Persib Bandung menjelang laga Persija kontra Persib
di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, Jawa Barat, Ahad (23/9).
Kejadian nahas itu cukup merenggut perhatian publik, bahkan banyak pihak yang
kemudian bereaksi, mulai dari pejabat, politisi, netizen, dan para pemangku
kepentingan Liga 1 dan PSSI.
Memang,
kisah tragis dunia sepak bola yang berdarah-darah ini bukanlah kali pertama
terjadi di dunia sepak bola kita. Di tempat, di mana harusnya sportivitas
dijunjung dan rasa solidaritas menjadi kuncinya, justru terdapat
tikaman-tikaman dan hantaman yang mematikan. Dukungan demi dukungan kepada tim
kesayangan, diekspresikan secara tidak tepat dan justru menjadi motivasi
aksi-aksi brutal dan anarkis terjadi.
Ekspresi
berlebihan dari fanatisme yang mengarah pada tindakan brutal ini bisa muncul
dalam berbagai bentuk. Yakni, mulai dari menyebar ujaran kebencian, saling mengejek,
memfitnah, merusak fasilitas, tawuran, hingga membunuh. Tentu ini menjadi
momentum bagi kita untuk kembali merenungi sejauh mana “kekitaan” yang kedirian
kita punya. Mungkinkah kita akan selalu mengdepankan nafsu kebinatangan dalam menyikapi
perbedaan, perselisihan, atau pertentangan. Saya yakin kita semua rindu pada
solidaritas, empati, kerukunan, dan kebersamaan yang selama ini ditanamkan
sebagai jati diri dan marwah bangsa.
Sampai
di sini, narasi senasib sepenanggungan rasanya makin jauh panggang dari apinya.
Masyarakat kita seolah bertindak berdasarkan ego sektoral, kepentingan
kelompok, dan fanatisme buta terhadap apa yang didukung dan diyakininya.
Terlepas dari isu sepak bola, dalam berbagai hal pun begitu. Jika ekspresinya
positif dan produktif, tentu tak jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah
ketika kebinatangan manusia itu harus dibayar dengan sebongkah nyawa.
Defisit kemanusiaan
Berdasarkan
data yang dirilis Liputan6.com, jumlah kematian akibat baku hantam suporter
dari rentang waktu dari tahun 2012 hingga 2018 mengalami naik-turun. Pada 2012,
sebanyak 12 orang suporter meninggal akibat serangan dari oknum suporter lawan.
Jumlah itu mengalami fluktuasi, hingga pada 2017 memuncaki angka yang sama,
yakni 12 orang meninggal. Sementara, hingga September 2018 ini, sudah ada 6
orang suporter yang tewas akibat serangan brutal. Jika diambil rata-rata sejak
2012-2018, jumlah kematian suporter sepak bola dalam tujuh tahun terakhir
adalah 9 orang per tahunnya atau ada 3 orang suporter yang meninggal setiap 4
bulan. Angka ini begitu memilukan.
Defisit
kemanusiaan yang tercermin dari kasus pengeroyokan dan baku hantam suporter
sepak bola di atas menjelaskan posisi kemanusiaan yang kian terdegradasi oleh
berbagai kepentingan golongan akibat fanatisme. Sikap brutal dan gagah-gagahan
menjadi budaya yang tidak baik, akibatnya adalah kerusakan di muka bumi. Padahal,
pada dasarnya, manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Manusia jauh
lebih unggul dan sempurna dibanding binatang. Meski begitu, manusia punya
sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Hanya, satu hal yang membedakannya,
yakni akal. Sebab itulah manusia disebut sebagai hayyawan natiqa (hewan yang dianugerahi akal dan pikiran) atau homo
sapiens.
Dengan
adanya akal dan pikiran, seharusnya manusia bisa mengendalikan sifat-sifat
kebinatangannya. Sikap brutal, anarkis, merusak, dan membunuh adalah bagian
dari naluri kebinatangan yang gagal dikendalikan oleh akal dan pikiran. Manusia
yang larut dalam emosi, kehilangan akalnya, bahkan kehilangan kemanusiaannya.
Pada saat itulah hawa nafsu durjana yang mengendalikan gerak tubuh dan
pikirannya. Layaknya hewan buas hendak menerkam mangsanya, manusia yang
dikendalikan nafsu bahkan bisa jadi perusak dan pemakan sesamanya.
Menggembirakan solidaritas sosial
Sebagai
warga negara, penting rasanya memiliki rasa solidaritas terhadap sesama.
Terlebih, dalam konteks ajaran agama semua manusia adalah saudara. Artinya, tak
ada hak bagi siapa pun itu untuk membunuh atau menghilangkan nyawa orang
lainnya. Justru perbuatan semacam itu seharusnya bisa dihindari. Semestinya,
sesama masyarakat pencinta sepak bola bisa memahami dan merasakan penderitaan
satu sama lain, hidup rukun dalam kebersamaan, dan bersaing secara sehat.
Bagaimana caranya? Yang pasti kita harus membangun rasa solidaritas dengan cara
menghidupkan kembali kemanusiaan kita. Jangan sampai fanatisme buta berujung
pada tindakan brutal dan kriminal.
Kelahiran
sikap fanatisme memang tidak terlepas dari konstruk sosial. Budaya yang
terbangun di masyarakat itulah yang membuat masyarakat menjadi terbelah-belah
ke dalam berbagai kelompok. Fragmentasi kelompok bisa terbagi berdasarkan suku,
ras, agama, adat, pilihan politik, atau dukungan tim sepak bola. Jika dalam
proporsinya dan tidak merugikan, itu tidak masalah. Namun, apa yang sudah
terjadi di dunia sepak bola kita ini sama sekali tidak mencerminkan sportivitas
seperti yang diusung dalam kompetisi olahraga. Justru malah menunjukkan fakta adanya
fanatisme akut dan semacam permusuhan abadi.
Maka,
untuk membangun solidaritas sosial, kita harus menghidupkan kembali nalar kemanusiaan
dan keluar dari sekat-sekat perbedaan itu. Richard Rorty dalam Kontingenz, Ironie and Solidaritat (Hardiman,
2012) berpendapat bahwa untuk membangun solidaritas sosial kita harus menghidupkan kemanusiaan sentimental. Sentimentalitas,
menurut Rorty, merupakan suatu kemampuan untuk mengabaikan perbedaan suku,
agama, ras, dan adat karena mampu melihat dan ikut merasakan kesamaan dalam
penderitaan dan pelecehan yang dialami orang lain. Jadi, perbedaan apa pun itu
tak akan berpengaruh jika kita sudah punya rasa “kekitaan”.
Merujuk
pada pendapat Rorty tersebut, dalam menyikapi perbedaan suku, ras, agama,
maupun kelompok dan golongan seharusnya kita bisa meletakkan nilai-nilai
universalitas kemanusiaan di atas itu semua. Kita tentu tidak memimpikan adanya
pembunuhan, kekerasan, atau kriminalitas yang terjadi atas nama agama, suku,
atau kelompok. Hal itu justru menjadi paradoks cita-cita kelompok itu sendiri,
yang seharusnya bisa membangun solidaritas dan kerja sama sosial.
Sebagai
catatan akhir, tentu saja membangun solidaritas sosial yang kokoh butuh peran
aktif dan kontribusi positif dari berbagai elemen. Mulai dari masyarakat itu
sendiri, elite kelompok-kelompok sosial, pemangku kepentingan, dan pihak-pihak
terkait. Mari kedepankan “kekitaan” dan berkompetisi secara sportif, jujur, dan
penuh kegembiraan. []
**) gambar diunduh dari: https://auliyaaziza.files.wordpress.com/2013/12/warna-warni-kehidupan.jpg
Komentar
Posting Komentar