Sobatku yang budiman, istilah profetik sendiri dalam ilmu sosial pertama dicetuskan oleh Kuntowijoyo sekitar tahun 90-an. Saat itulah percik-percik gagasan mengenai ilmu sosial berbasis strukturalisme transcendental ini dituangkan dalam buku Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Lalu, pada tahun 2000-an Kuntowijoyo dengan tegas menyebut dan menjabarkan gagasannya itu dengan istilah ilmu sosial profetik atau ISP. Nah, itu terdapat dalam bukunya Islam Sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika yang diterbitkan Penerbit Tiara Wacana.
Secara bahasa kata profetik berasal dari kata prophet yang berarti nabi, sedangkan prophetic berarti kenabian. Dalam beberapa literature nih gengs, dijelaskan bahwa definisi profetik adalah tugas atau peran kenabian, memiliki sifat seperti nabi, dan mencontoh pada nabi (Ahimsa, 2015). Dan tugas kenabian itu menurut Kuntowijoyo sendiri merupakan upaya keterlibatan kita (umat Islam) dalam sejarah untuk mencapai cita-cita khairu ummah atau umat terbaik, sobat.
Nah, kita jadi teringat apa yang diungkapkan Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan sastrawan sufi dari India, bahwa ketika Rasulullah melakukan Mikraj ke langit hingga melihat indahnya surga, Rasulullah masih kembali ke bumi dengan penuh kesadaran. Kembalinya Rasulullah itu untuk turut terlibat dalam sejarah gengs, untuk melakukan perubahan sosial. Yang dalam ajaran kita biasa disebut ‘menyempurnakan akhlak/moral’.
Perkataan Iqbal yang kemudian menggugah pemikiran Kuntowijoyo adalah: “Seandainya aku ke langit hingga melihat surga, niscaya aku takkan pernah kembali ke muka bumi. Tapi Rasulullah kembali dengan kesadaran penuh untuk membawa perubahan pada kondisi umat di muka bumi.” Masdar Hilmy (2008) juga menyebutkan bahwa nabi sebenarnya memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Tanggung jawab sosial tersebut adalah untuk membawa perubahan atau transformasi sosial.
Nah, kawan Ulul al-bab, gagasan ISP ini berawal dari perdebatan kelompok Islam konservatif dengan Islam transformatif. Selain itu, pada 2000-an, ada Kongres Psikologi Islam di Solo. Saat itu, muncul istilah Islamisasi pengetahuan. Kuntowijoyo merasa tidak sreg dengan istilah itu. Kemudian dia menawarkan konsep Pengilmuan Islam. Menurut dia, pengilmuan Islam mendorong umat Islam untuk bergerak lebih maju, dari reaktif ke proaktif.
Pengembangan paradigma Islam ini adalah dasar untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosial-budaya ke sistem Islam yang kafah, modern, dan berkeadaban (Ahimsa, 2016). Kuntowijoyo berkata, hal itu bisa menjadikan Islam lebih kredibel bagi Muslim, bahkan non-Muslim. Pengembangan Islam sebagai ilmu menjadi antitesis terhadap ilmu pengetahuan yang selama ini berkiblat ke Barat yang cenderung sekularistik.
Pemikiran Kuntowijoyo mengenai ISP juga dipengaruhi oleh dua orang tokoh, gaes. Di antaranya, Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy filsuf Islam asal Prancis, yang mencetuskan filsafat kenabian dalam konsep Islam. Kuntowijoyo sepakat dengan pemikiran Garaudy, terutama mengenai sumber ilmu pengetahuan. Sumber atau dasar ilmu pengetahuan menurutnya bukan cuma akal, melainkan juga wahyu. Bahkan Kuntowijoyo mengatakan bahwa “wahyu” itu sangat penting, karena itulah yang membedakan epistemologi Islam dengan cabang-cabang epistemologi Barat. Bagi dia epistemologi Barat (rasionalisme dan empirisme) tampak terlalu sederhana jika dilihat dari perspektif Islam. Wallau a’lam.[sho]
Komentar
Posting Komentar