Hijrah Menuju Khairu Ummah


Oleh: Ahmad Sholeh*

Hijrah adalah berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Hijrah juga berarti pindah keadaan ke keadaan lain. Seperti kisah Nabi yang sudah sering kita dengar, mungkin hijrah secara fisik bisa dilihat dari perpindahan Nabi secara geografis dari Makkah ke Madinah. Namun, terlalu sempit jika kita maknai peristiwa kepindahan Nabi SAW hanya pada pindah tempat atau lokasi geografis. Perlu diingat, pada masa-masa hijrah itu Nabi SAW juga mengalami banyak hal dan perubahan. Termasuk perjuangan kenabiannya membangun Kota Madinah menjadi kota yang maju dan berperadaban.
Kisah hijrah dalam perjalanan kehidupan Nabi SAW menjadi cerminan bagi kita yang ada saat ini, zaman yang serbadigital ini untuk bisa menjadikannya teladan. Artinya, bukan kita harus pindah dari satu tempat ke tempat lain, tapi bagaimana kita bisa mengelola kehidupan kita saat ini ke arah yang lebih baik dan lebih baik lagi. Jika tidak, maka bangkrutlah kita. Seperti sebuah pepatah yang berbunyi, “jika hari ini lebih baik dari hari kemarin maka kau orang beruntung, jika hari ini sama dengan hari kemarin maka kau merugi, dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka kau bangkrut.”
Sampai di sini, tentu kita sepakat bahwa keadaan umat kita hari ini berbeda jauh dengan umat Nabi dahulu. Teknologi dan ilmu pengetahuan pun kini makin berkembang dengan pesatnya. Umat pun jadi jauh lebih mudah dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah kita menjadi umat yang senantiasa berhijrah ke arah yang lebih baik? Atau, justru sebaliknya—bangkrut?
Jika berkaca pada agenda dakwah Rasul di Madinah, beliau mampu menciptakan perubahan sosial dan membangun peradaban yang maju dan unggul. Lantas, apa yang sudah kita lakukan saat ini? Apalagi dengan kondisi umat yang makin banyak makin membuih ini. Terlepas dari berbagai persoalan politik dan rekayasa penguasa, umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia ini nyatanya masih mudah diobrak-abrik oleh berita hoaks, oleh persoalan perbedaan pilihan politik, dan justru menjual jargon demokrasi sambil diam-diam menusuk jantung demokrasi itu sendiri.
Menjadi permasalahan kita bersama ketika masyarakat Muslim yang mayoritas di negeri ini justru jadi komoditas politik, bukan penentu. Maka sudah selayaknya kita butuh hijrah. Kita butuh berpindah menjadi lebih baik dari kemarin. Kita butuh pindah dari tidak mengerti politik jadi melek politik, hijrah dari kebodohan menuju peradaban maju, pindah dari setir penguasa asing ke konsep berdaulat dan berdikari, hijrah dari penguasa penindas ke penguasa pembebas, dan berbagai hijrah lainnya hingga berujung pada khairu ummah alias umat terbaik.

Consciousness

Jika kita bicara perubahan, tak bisa lepas dari yang namanya kesadaran (consciousness). Dalam konsep perubahan, kesadaran baik individu maupun kelompok menjadi suatu faktor yang amat penting. Karena kesadaran itulah yang akan menggerakkan seseorang atau kelompok untuk berbuat dan melakukan sesuatu. Termasuk ketika melakukan perubahan sosial. Tanpa adanya kesadaran, maka perubahan yang dicita-citakan adalah nihil.
Dalam teori sosial kritis, kita mengenal adanya istilah trilogi kesadaran yang terdapat di dalam tatanan masyarakat, yakni kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis (Paulo Freirre). Kesadaran magis cenderung menganggap segala hal yang terjadi di dunia ini dan apa yang dialami adalah perkara “takdir” belaka. Sementara kesadaran naif lebih kepada kesadaran yang tak berujung pada perubahan, sadar hanya sebatas tahu. Sedangkan kesadaran kritis akan berujung pada perenungan, refleksi, dan tindak untuk melakukan perubahan. Maka bukan kesadaran kritis namanya jika kata dan jargon tak berujung pada laku.
Bagi umat Islam, memiliki kesadaran adalah suatu hal yang fardhu. Karena dalam Al-Quran juga kita diingatkan untuk berpikir “laallakum tafakkarun” dan menggunakan akal “laallakum ta’qilun”. Maka, umat Islam sejatinya harus lebih dari sekadar memiliki kesadaran kritis. Umat Muslim di bumi nusantara yang mayoritas ini harus memiliki kesadaran profetik; kesadaran bervisi kenabian.
Apa itu kesadaran profetik? Kesadaran profetik yaitu kesadaran yang lahir bukan hanya dari sikap kritis terhadap kondisi sosial belaka, tapi juga menyadarinya sebagai wujud pengamalan nilai-nilai ketuhanan, terlebih sebagai wujud ibadah. Kata “profetik” sendiri bisa dipadankan dengan istilah kenabian. Maka, kesadaran bervisi kenabian ini bisa juga dikatakan sebagai kesadaran untuk menciptakan perubahan, pembebasan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenangan.
Kuntowijoyo, cendekiawan Muslim dan sejarawan, mencetuskan konsep ilmu sosial profetik sebagai tawaran atas jumudnya peradaban Islam di nusantara. Bagi Kuntowijoyo, kesadaran profetik adalah kesadaran yang lahir dari kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan. Artinya, ada hubungan antara kesalehan religus dengan kesalehan sosial. Bahkan, bisa dikatakan wujud sejati dari ksealehan religius seseorang adalah kesalehan sosialnya yang tercermin dari perilaku dan perbuatan. Umat Islam juga tidak bersikap reaktif dalam merespons suatu persoalan, tapi lebih bersikap proaktif.
Mungkin kita sering mendengar konsep keseimbangan antara habluminallah dan habluminannas sebagai implementasi ajaran Islam. Konsep itulah yang akan membuat kita bisa menemukan titik terang, yang mana takdir dan mana rekayasa politik (penguasa), yang mana kebenaran dan mana kebatilan. Konsep kesadaran profetik juga tak lepas dari cita-cita khairu ummah. Karena spirit perjuangan Rasulullah yang menjadi inspirasi kesadaran profetik ini adalah untuk menciptakan umat yang terbaik.

Cita-cita khairu ummah

Khairu ummah atau umat terbaik merupakan konsep kehidupan umat yang unggul dan berperadaban maju. Khairu ummah digambarkan dengan kondisi umat yang maju dari segi ekonomi, memiliki kesadaran dan kepedulian sosial, dewasa dalam merespons wacana berpolitik, dan maju dalam bidang iptek.
Momentum tahun baru Islam atau tahun baru Hijriyah ke-1440 ini, menjadi titik tolak yang tepat untuk melesatkan diri menuju kesadaran profetik. Kesadaran yang akan membawa kita menuju cita-cita khairu ummah. Dalam konteks Indonesia, khairu ummah itu akan tercipta jika para pejabat negara tidak lagi melakukan korupsi, para pemimpin yang bekerja sepenuh hati tanpa pencitraan, masyarakat yang sejahtera dan dewasa merespons perbedaan, bangsa yang kuat dan berdaulat, serta kebijakan pemerintah merdeka dari pengaruh kepentingan asing.
Terakhir, ingatlah firman Allah yang sudah sangat populer ini: “Sesungguhnya Allah tak akan mengubah suatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d: 11). Maka, tak akan ada perubahan jika tidak kita mulai dari diri sendiri dan sejak saat ini. Mari bangkitkan ghirah perubahan dalam diri kita menuju umat yang terbaik, mari kita hijrah menuju khairuu ummah, sehingga tercipta bangsa yang unggul dan maju. Wallau a’lam.[]

Komentar