Oleh:
Tiffany Al-Qomariyah*
Dewasa ini dongeng tentang “Bumi
datar” muncul ke permukaan layaknya sebuah riset yang sudah diakui kebenarannya
oleh dunia khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Ada beberapa artikel dan video
di internet yang membahas tentang datarnya Bumi dan menjadikan ayat-ayat
Al-Qur’an sebagai penguat dongeng tersebut, pada salah satu video yang pernah
penulis tonton berjudul Flath Earth Bonus: Kubah Selatan & Telur Burung Unta
tertera tulisan “Heliosentrik: Ajaran Pagan (Musyrik)” dan mengatakan “teori
musyrik inilah yang dikembangkan oleh Sains Modern”. Dalam video tersebut juga
dituliskan bahwa “mengabaikan Al-Qur’an dan menerima teori Modern adalah hal
yang tak boleh dilakukan oleh seorang Muslim. Bumi itu datar. Yang mengatakan
Bumi itu bulat adalah Atheis yang patut mendapat hukuman”.[1]
Tujuan penulis membuat artikel ini yaitu mengajak
pembaca untuk lebih membuka jalan pikirnya bahwa seharusnya agama tidak
dijadikan alat untuk memprovokasi banyak orang agar sependapat terhadap suatu
statement, menjual dalil-dalil agama untuk suatu teori yang belum teruji
kebenarannya sehingga menutup jalan pikir pembaca untuk terbuka terhadap sains modern karena dianggap tidak sejalan dengan ajaran agama. Ilmuwan terdahulu
berhasil membuat teori-teori fisika tentang alam ini berdasarkan sebuah riset
yang sudah diuji berkali-kali dan diakui dunia, suatu teori dikatakan kurang
tepat jika ada teori lainnya yang dapat mematahkan teori sebelumnya kemudian
dijadikan hukum paten yang sampai hari ini masih dipergunakan dalam
pembelajaran.
T Djamaludin yang merupakan profesor Riset
Astronomi-Astrofisika LAPAN dalam bukunya yang berjudul Semesta pun Berthawaf
mengatakan “Akhir-akhir ini, banyak yang mempertanyakan bentuk Bumi. Datar atau
bulat? Banyak juga yang memercayai “teori” Bumi datar, yang sebenarnya lebih
cocok disebut dongeng, karena tidak memiliki landasan ilmiah.”[2] T.Djamaludin
mengatakan bahwa pandangan Bumi datar terlalu mengada-ada. “Itu Pseudosains” katanya. “Orang-orang awam
mempercayainya karena seolah-seolah pandangan itu ilmiah padahal sebenarnya
tidak ada dasarnya sama sekali.”[3]
Dalam dongeng Bumi datar, posisi Matahari dekat dengan
Bumi karena sinar Matahari dan Bulan terlihat lebih terang di awan sekitar
mereka dibandingkan awan yang lebih jauh. Sebenarnya, Matahari berada sejauh
150 juta km dari Bumi, sementara jarak Bulan ke Bumi sekitar 384.000 km. Cahaya
yang mengenai awan dekat lebih terang daripada awan jauh karena itu cahaya
pantulan. Sinar Matahari menembus awan yang terlihat bersudut, tidak serupa
garis sejajar, juga tidak menunjukkan jarak yang dekat. Bentuk menyudut yang
terpusat pada Matahari menunjukkan bahwa berkas cahaya Matahari lurus dan
sejajar karena Matahari sangat jauh.[4]
Pada awal peradaban Yunani kuno, banyak juga
sebenarnya pemikir-pemikir yang sudah mulai rasional, tapi masih berkesimpulan
bahwa bumi itu datar. Misalnya, Thales berpendapat bahwa bumi berbentuk datar
dan mengambang di air. Bumi ibarat kayu yang mengambang di tengah lautan.
Anaximander meyakini bahwa bumi berbentuk silinder pendek dengan permukaan
datar dan mengambang di udara. Anaximenes percaya bahwa benda-benda langit
berbentuk datar, dan kemungkinan besar dia juga berpikir bumi berbentuk datar.
Namun, yang membedakan argumen para pemikir di Yunani kuno dengan
sebelum-sebelumnya adalah mereka sudah mulai berargumen berdasarkan pengamatan
yang mereka lakukan, meskipun belum sempurna. Dengan kultur semacam itu,
lahirlah tokoh seperti Aristoteles. Dia menyadari bahwa gerhana bulan
disebabkan oleh Bumi yang berada diantara Bulan dan Matahari. Bayangan Bumi
pada permukaan Bulan selalu bundar. Hal ini hanya mungkin bila Bumi bulat.
Apabila Bumi datar, maka bayangannya lonjong dan hanya bulat apabila Bulan
berada di atas ubun-ubun.
Dari perjalanan yang pernah dilakukan, orang-orang
Yunani mengetahui bahwa Bintang Utara tampak lebih rendah di langit bila
pengamat berada lebih ke selatan (karena terletak di atas kutub Utara). Bintang
Utara berada tepat di atas ubun-ubun seorang pengamat di Kutub Utara, dan di
atas horizon bila ia di khatulistiwa). Hal ini hanya mungkin bila Bumi bulat.
Dari bukti-bukti tersebut, Aristoteles menyimpulkan bahwa bentuk bumi adalah
bulat. Gagasan Aristoteles tersebut disepakati oleh filsuf-filsuf setelahnya
seperti Eratosthenes, Euclid, Aristarchus, dan Archimedes. Eratosthenes bahkan
berhasil mengukur keliling Bumi menggunakan tongkat yang terletak di dua tempat
yg berbeda. Dia memanfaatkan perbedaan bayangan antara dua tongkat tersebut
akibat lengkung bumi untuk mengukur keliling total.[5]
Di Youtube bertebaran video seolah-olah ajaran Islam
mendukung Bumi datar dengan mengutip ayat yang menyebutkan Bumi menghampar.
Tentu ini klaim berbahaya. Padahal, kalau membuka lembaran sejarah, justru para
Ilmuwan muslim yang memastikan Bumi itu bulat pada abad ke-10 atau 6 abad lebih
cepat dari Sir Francis Darke pada 1577, yang mengelilingi Bumi untuk
membuktikan Bumi itu bulat. Ilmuwan itu adalah Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) yang
hidup pada masa Khalifah Abbasiyah. Dia adalah ahli fisika, matematika,
astronomi, sejarah, geologi, filsafat, geografi dan ilmu alam lainnya.
Al-Biruni menggunakan alat ukur derajat bintang yang disebut Astrolabe untuk
menentukan Bumi itu bulat bahkan mengukur diameter Bumi.[6]
Ada
beberapa ayat Al-Qur’an yang biasa digunakan untuk memperkuat argumen bahwa
Bumi datar, di antaranya yaitu:
Al-Hijr ayat 19:
·
“Dan Kami telah menghamparkan bumi
dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran.” (Al-Hijr:19)
·
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah:22)
·
“Bukankah Kami telah
menjadikan Bumi itu sebagai hamparan
dan gunung-gunung sebagai pasak?” (An-Naba’: 6-7)
Al-Ghasyiyah ayat 20:
· “Dan Bumi bagaimana ia dihamparkan? (Al-Ghâsyiyah:20) [7]
Namun, jika kita memahami makna dariayat-ayat
Al-Qur’an di atas sesuai konteks maka akan berbeda. Kata madadna (Al-Hijr:19) “Kami
hamparkan Bumi” atau “Kami
bentangkan”. Artinya, bila kita pergi ke negeri manapun di dunia,
misalnya, kita akan melihat tanah di depan kita rata dan terhampar, dan itu
mustahil terjadi bila bukan karena Bumi berbentuk bulat. Andai kata Bumi
berbentuk kotak, segitiga, segi enam, atau bentuk geometris apa saja selain
bulat, kita pasti takkan melihat hamparan tanah di depan kita, melainkan tepi
atau pinggiran Bumi dan kemudian di angkasa.
Satu-satunya bentuk geometris yang
memungkinkan tanah di depan kita rata dan terhampar – di mana pun kita
menginjakkan kaki – adalah bentuk bulat. [8] Al-Baqarah:22 Firasyan bermakna hamparan tempat istirahat, bukan dalam makna
keseluruhan Bumi datar. Al-Naba: 6 Mihadan
bermakna ‘hamparan tempat istirahat’, bukan keseluruhan permukaan Bumi
karena pada ayat selanjutnya disebutkan juga ada gunung-gunung. [9]
Allah telah menciptakan malam dan siang dalam bentuk
saling menutup satu sama lain. Mengingat malam dan siang sama-sama didapati di
atas permukaan Bumi, keduanya mustahil bila saling menutup satu sama lain bila
bukan karena bentuk Bumi yang bulat; setengahnya gelap dan setengahnya lagi
terang, sesuai dengan Surah Az-Zumar:5 “Dia menciptakan langit dan Bumi dengan
(tujuan) yang benar. Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas
malam. Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar menurut waktu
yang ditentukan. Ingatlah, Dialah Yang Mahamulia, Maha Pengampun.”[10]
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa penemuan-penemuan sains mengenai Bumi bulat tidaklah bertentangan dengan
Al-Qur’an ketika kita memaknai arti dari ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
pandang yang tepat. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya mengenai
pergantian siang dan malam, bahwa sesungguhnya maksud dari siang berganti malam
bukanlah arti sebenarnya, siang hilang dan berganti malam dan malam hilang
berganti siang, namun siang dan malam sudah ada dan tetap ada pada posisinya,
setengah siang dan setengah malam dan hal ini hanya bisa terjadi jika Bumi
berbentuk bulat, karena Bumilah yang berputar pada porosnya dan pada garis
edarnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an justru menguatkan teori-teori sains modern
mengenai bentuk Bumi yang bulat, jadi tidak ada konspirasi dari pihak manapun
untuk membuat seseorang menjadi jauh dari keimanannya atau menjadikan seseorang
itu kafir karena mempercayai Bumi itu bulat. Bukan karena Ilmuwan tersebut
berasal dari Barat kemudian penemuannya bertentangan dengan Al-Qur’an karena
Ilmuwan melakukan riset atas penemuannya sebelum akhirnya ditetapkan menjadi
teori yang diakui di masyarakat bahkan seluruh dunia dan jika melihat dari
sejarahnya, Ilmuwan muslimlah yang justru lebih dulu melakukan penelitian
ilmiah dan menetapkan teori bumi bulat.
Editor: @salmafjr
Referensi:
[1] https://www.youtube.com/watch?v=b_Ps4TD7E6w&t=22s
[2]
T.Djamaludin,”Semesta pun Berthawaf”,Mizan,Jakarta:2018,hal.56
[4] T.Djamaludin,”Semesta pun
Berthawaf”,Mizan,Jakarta:2018,hal.61
[8] Dr.Nadiah Thayyarah,”Buku Pintar Sains dalam
Al-Qur’an”,Zaman,Jakarta:2014,hal.543-454
[9] T.Djamaludin,”Semesta pun
Berthawaf”,Mizan,Jakarta:2018,hal.69-70
[10] Dr.Nadiah
Thayyarah,”Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an”,Zaman,Jakarta:2014,hal.454
Komentar
Posting Komentar