ESAI: HICHKI & CEGUKAN PENDIDIKAN INDONESIA YANG TAK KUNJUNG SEMBUH


Oleh: Ahmad Sholeh

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteran)-nya.” 
QS An-Nisa: 9

ISU mengenai fenomena pendidikan di Indonesia kini sedang hangat. Hal itu lantaran maraknya protes orang tua yang anaknya tak bisa masuk sekolah “favorit” disebabkan PPDB dengan sistem zonasi dari peraturan Kemendikbud. Selain itu, isu lain yang tak kalah santer adalah penggunaan SKTM (surat keterangan tidak mampu) palsu yang digunakan mendaftar sekolah guna mendapatkan keringanan.

Dua isu tersebut seolah membuat kita “harus” merasa peduli terhadap dunia pendidikan kita yang masih diliputi kegamangan. Dari isu sistem zonasi kita bisa melihat bagaimana pemerataan pendidikan, baik dari segi infrastruktur/fasilitas maupun kualitas tenaga pengajar, masih belum terealisasi. Kebijakan Mendikbud soal zonasi ini sepertinya muncul untuk menumbuhkan ghirah “pemerataan” di sekolah-sekolah. Lantaran masih adanya pandangan masyarakat kita tentang dikotomi “sekolah favorit” dan sekolah nonfavorit atau sebut saja sekolah kasta bawah.

Sekolah favorit biasanya dialamatkan ke sekolah negeri atau sekolah swasta yang besar dan mapan dari segi kelengkapan fasilitas dan juga track record lulusan yang bisa dilihat di brosur-brosur “dagang” sekolah yang didesain sedemikian rupa. Untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah “favorit” model begini, ada sejumlah kriteria bahan tes akademik untuk calon siswa karena kuotanya pun terbatas.

Sementara sekolah swasta alias “kasta” bawah, cenderung dihindari, tidak dilirik, atau paling banter menjadi sekolah “buangan” yang menerima murid-murid gagal lolos seleksi di berbagai sekolah “favorit”. Saya rasa itu menjadi salah satu renungan Kemendikbud, sehingga diberlakukanlah PPDB dengan sistem zonasi. Namun, ada beberapa yang menilai sistem zonasi ini terlampau prematur untuk dilaksanakan. Seharusnya, sebelum sistem zonasi ini dijalankan, pemerintah memastikan terlebih dahulu kondisi pemerataan di sekolah, mulai dari fasilitas hingga kualitas tenaga pengajarnya.

Sementara isu SKTM palsu, jelas berkaitan dengan mental orang Indonesia yang “miskin” dan tak sadar “dimiskinkan”. Mengapa demikian? Mental “miskin” bukan hanya hadir dari masyarakat yang meminta SKTM palsu dari pejabat setempat, tapi juga mental “miskin” ini dimiliki oleh pejabat atau oknum yang memberikan SKTM palsu, yang pastinya dengan “biaya adminitrasi”. SKTM seharusnya hanya untuk keluarga yang betul-betul kurang mampu. Saya yakin, jika tak ada oknum pejabat nakal, tidak akan ada yang main-main dengan sembarangan memberikan SKTM kepada masyarakat.

Ternyata bukan cuma mental “miskin”, tapi masyarakat kita juga justru “dimiskinkan” oleh sistem. Mulai dari iming-iming pendidikan gratis, beasiswa, dan semacamnya yang kemudian membuat masyarakat merasa “meminta” SKTM ke pejabat setempat merupakan urusan “administrasi” belaka. Lebih dari itu, seharusnya sekolah bisa bekerja sama dengan pemerintah memanfaatkan data penduduk miskin yang dimiliki pemerintah setempat untuk misalnya  memberikan bantuan pendidikan, beasiswa, atau sekolah gratis.
Nah, ngomong-ngomong soal fenomena pendidikan, beberapa waktu yang lalu ada sebuah film India yang menarik untuk kita simak. Film tersebut berjudul Hichki. Film yang berlatar tentang kehidupan masyarakat India dan juga realitas pendidikan di sekolah.

Fenomena dunia pendidikan dalam film Hichki

Melihat fenomena pendidikan Indonesia yang demikian mirisnya. Tentu film Hichki yang pemeran utamanya dibintangi Rani Mukerjee ini tidak hanya berbicara soal kehidupan romantisme di sekolah, melainkan mengangkat ide kritis tentang fenomena pendidikan. Isu yang cukup relevan dengan kondisi pendidikan kita. Setidaknya ada dua fenomena pendidikan yang bisa kita lihat dalam film ini: (1) pendidikan yang membelenggu dan (2) fenomena diskriminasi di dunia pendidikan.

Pertama, pendidikan yang membelenggu; tidak membebaskan. Film Hichki ini mengisahkan tentang seorang guru bernama Naina Mathur (Rani Mukerjee) yang mengidap penyakit sindrom tourette (penyakit saraf yang menyebabkan dia selalu cegukan dan mengeluarkan suara-suara aneh: wak .. wak …!). Penyakitnya yang tidak bisa disembuhakn itulah yang membuat bu guru Naina tidak diterima mengajar di berbagai sekolah. Meski begitu, pada akhirnya dia diterima setelah ditolak selama lima kali di almamaternya semasa sekolah dahulu. Di situlah dia mengajar kelas G, kelas yang diisi anak-anak dari kelompok miskin yang tinggal di perkampungan kumuh sekitar sekolah.

Perjuangan Naina Mathur yang pertama ketika melihat kelas G adalah upaya membebaskan mereka dari belenggu. Yaitu belenggu sistem sekolah yang membuat mereka takut bersaing dengan kelas lain, merasa bodoh, merasa terpinggirkan, dan merasa tak bisa apa-apa karena kelas-kelas lain rata-rata adalah anak “si kaya”. Dengan kondisi murid-muridnya yang bandel, Naina mencoba berbagai cara untuk menyadarkan mereka. Naina mengajak mereka belajar dengan sistem contextual teaching learning atau pembelajaran kontekstual. Hingga akhirnya murid-murid kelas G pun sadar dan bisa terbebas dari belenggu ketakutannya masing-masing. Mereka pun akhirnya berani menyelesaikan studi hingga pada saat ujian sekolah lolos ke peringkat unggulan.

Kedua, adanya diskriminasi status sosial dan ekonomi dalam pendidikan. Isu diskriminasi amat kentara dalam film ini. Setidaknya dalam konflik antarsiswa yang terjadi antara siswa kelas A yang dianggap paling pintar, cerdas, dan berprestasi ditambah anak-anak “si kaya” dengan siswa kelas G yang merupakan kelompok kaum miskin yang dianggap bodoh, nakal, dan biang masalah. Kondisi demikian tak pelak menciptakan keributan yang berujung baku hantam.

Ditambah lagi, dengan adanya tokoh Mr Wadia—wali kelas A—yang memiliki sifat sombong dan angkuh, merasa kelas yang diampunya paling unggul, dan meremehkan kelas G yang diampu Naina Mathur. Dalam sebuah kisah, Wadia melakukan penghinaan kepada salah seorang anak kelas G, sehingga siswa tersebut merasa tersinggung, merasa direndahkan, dan dendam. Itulah realitas yang terjadi dalam film ini. Sehingga bagi kelompok yang termarjinalkan, sekolah dianggap hanya mementingkan dan memperhatikan murid-murid kelas A yang pintar, bahkan murid-murid yang dekat dengan gurunya. Saking dianggap bandel, kelas G malah hampir dibubarkan.

Dalam kondisi inilah Naina Mathur mencoba membangun kepercayaan kepala sekolah terhadap murid-muridnya. Naina menginginkan murid-murid mereka bersaing secara fair memperebutkan “lencana siswa terbaik” yang selama ini eksklusif hanya untuk siswa kelas A. Meskipun begitu, kelas G akhirnya harus diskors hingga waktu ujian sekolah tiba. Hal itu berkat kenakalan salah satu siswa kelas G, yang merusak prakarya untuk olimpiade ilmiah milik sekolah, dengan alasan balas dendam kepada Mr Wadia.

Selain itu, sebenarnya tokoh Naina yang menderita sindrom Tourette juga menjadi symbol dari adanya diskriminasi. Yaitu ketika ia ditolak oleh banyak sekolah lantaran “kelainan” yang dideritanya dianggap sebagai sesuatu hal yang mengganggu. Dan dikisahkan ketika Naina sekolah dahulu dia menjadi bahan bulian teman-teman sekelasnya, bahkan tak jarang dimarahi guru karena suara “wak-wak-wak” yang keluar dari mulutnya.

Namun, selain tokoh “jahat” dan budaya yang diskriminasi itu juga ada tokoh “baik” yang membawa pesan bahwa pendidikan tidak boleh pandang bulu; kaya, miskin, kelas A, kelas G, normal, memiliki kelainan, dsb semua memiliki hak yang sama. Semacam ada ghirah untuk menyuarakan keadilan dalam dunia pendidikan. Tokoh baik itu muncul dari diri Naina dan juga kepala sekolah semasa Naina kecil.

Saya rasa film ini sangat cocok untuk disimak para praktisi pendidikan. Atau untuk siapa pun. Setidaknya dengan menonton film ini kita bisa mendapatkan beberapa pertanyaan dalam benak kita. Apakah pendidikan kita sudah membebaskan? Atau justru sebaliknya? Apakah pendidikan kita sudah adil dalam memperlakukan peserta didik? Apakah proses belajar di sekolah menyenangkan? Atau cuma kompetisi berebut nilai?

Kenapa masih ada dikotomi sekolah “favorit” dan sekolah “tidak favorit”? Sekolah negeri dengan swasta? Bukankah kita sepakat di manapun kita bersekolah, yang menentukan kesuksesan seseorang adalah usahanya? Kenapa masih ada orang tua yang kekeuh ingin menyekolahkan anaknya di sekolah negeri, padahal kesempatan sukses yang sama bisa diraih di sekolah swasta?

***

Komentar