ARTIKEL POPULAR: MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH (WARA’)




Oleh:Tulus Setiyo Pamuji

Adalah benar jika Allah tidak mengirimkan utusan-Nya untuk membimbing manusia, niscaya manusia banyak yang mengikuti kemauan atau hawa nafsunya sendiri.hal ini merupakan bagian dan yang sudah ditakdirkan Allah. Allah telah menetapkan memilih manusia-manusia pilihaan sebagai rasul dan nabi untuk membimbing umat manusia, sejak Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW, menurut keyakinan kita, agar mereka tahu kehidupan dan jalan kebenaran yang sesungguhnya.

Keteladanan yang diberikan oeh para nabi mesti kita perhatikan dan ikuti risalahnya secara sungguh-sungguh. Janganlah terjadi kita mengganggap nabi sebagai teladan, namun kita biarkan dan tidak kita ikuti. Janganlah terjadi Allah menetapkan orang beriman akan diberikan pahala yang sangat besar, kita tahu itu, namun kita biarkan dan tidak menjaga keimanan kita. Alangkah ruginya kita kelak kalau demikian. Oeh karenanya, baik laki-laki maupu perempuan (tua-muda) seyogianya memperhatikan keimanan dan meningkatkan ketakwaan mereka serta bersyukurlah jika bisa melakukan kebaikan dan penghambaan kepada Allah SWT Haza min fadli Rabbi. “Dan bertobatlah jika sempat melakukan pelanggaran, penentangan, dan keengganan dalam melaksanakan kebenaran.”

Bertoubat dan beristigfar yang dilakukan oleh hamba Allah niscaya membuat Allah akan menolong serta mengampuni orang yang mau bertobat itu. Laataq natuu mir rahmatillah. “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah.” Orang beragama ini dituntun agar mereka memiliki stabilitas dalam hidupnya, yakni tidak lupa daratan ketika sedang mendapat kenikmatan dan karunia-Nya dan tidak menangis-nagis berputus asa ketika sedang mendapat penderitaan dan kesulitan.

Rasulullah Muhammad SAW memberikan pelajaran yang sangat sempurna bahwa stabilitas kejiwaan dimulai dari pembinaan al-qalbu atau hati, begitu terjemahannya di Indonesia. Inna fil jasadi mutqhah. “Sesungguhnya, bahwa di dalam diri seseorang ada yang namanya mutgah (segumpal daging).” Idza shaluhat shaluhal jasadu kullubu. “Kalau Mutgah ini baik, semua yang ditampilkan oleh orang itu terimbas menjadi baik.”

Kalau dia bicara, bicaranya yang baik kalau dia mendengarkan, mendengarkan yang baik, dan kalau dia menjadi pemimpin, pemimpin yang baik, ambil keputusan yang baik, mengarahkan orang ke arah yang baik sasaran yang baik. Waidzaa fasad at fasadal jasad’u kulluh. “Namun, jika mutgah itu rusak, tidak tertata tidak terbina, dan tidak terdidik, setiap yang ditampilkan orang itu juga terimbas terbiasa tidak baik, tidak tertata.” Wujudnya, jika bicara bicaranya tidak mengarah, tidak baik, rusak menjadi pemimpin, pemimpin yang rusak, pemimpin yang tidak mengarahkan pengikutnya agar menjadi orang yang bertakwa.
Padahal, semua tahu bahwa pemimpin adalah teladan. Teladan yang ditampilkan oleh seorang pemimpin akan sangat berpengaruh besar bagi pengikutnya atau jamaahnya. Lalu, untuk apa menjadi pemimpin kalau tidak mampu mengarahkan pengikutnya menjadi makin taat kepada Tuhannya. Ketaatan kepada Allah ini penting untuk dibimbing. Jadi, kalau mutgahnya tadi rusak, apa yang ditampilkan oleh orang itu juga rusak dia tidak pernah tepat.

Kata Rasulullah, Ala wahiya wal qalbu. “Saudara-saudara, ketahuilah bahwa yang dimaksud mutgah tadi adalah al-qalbu.” Jadi, qalbu atau hatinya dibina, dididik, dan dilatih. Hati yang sudah terltih dengan baik, maka akan mendorong otak sehingga otaknnya akan berpikir yang baik. Hati yang sudah tertata dengan baik, dia akan menggerakkan tangan-kakinya, sehingga akan berbuat kebaikan. Pun, ketika bisa melakukan kebaikan, dia tidak sombong. Namun, sekiranya melakukan pelanggaran, dia tidak berputus asa dan tetap bersedia tobat, beristigfar,. Dalam hidup, mereka tidak mengikuti kehendak naluri pribadi sendiri, melainkan tetap mengikuti tuntunan Allah Rabuul Izzati.

Jadi, hati dibina terlebih dilatih, sehingga kehidupan pribadi jiwanya bisa stabil dan tidak goyah karena mantap imannya. Hal ini menjadi pangkal tolak dari kehidupan orang beriman. Orang beriman selalu mengedepankan stabilitas kepribadiaanya karena mereka diberi pedoman oleh Allah Swt. Walaupun dalam hidup ini seringkali terjadi seperti yang digambarkan Al-Quran.

Misalnya, dalam surah Ar-Rum ayat 33: “Wa idzaa massa alnnaasa dhurrun da’aw rabbahum muniibina ilayhi tsumma idzz adzaaqahum minhu rahmatan idzaa fariiqun minhum birabbhim yuswikunna.” Kalau terjemahan bebasnya: “Dan jika manusia ditimpa suatu kesulitan, kesempitan, atau bahaya, lalu mereka berdo’a, memohon merengek-rengek kepada Tuhan mereka dan menyatakan bertobat (disuruh bertaubat pun mereka mau). Ketika mereka kesulitan dan kesempitan, mereka mendekatkan diri kepada Allah. Namun, ketika Allah telah mengganti kesulitan itu dengan sesuatu kenikmatan dan karunia (perbaikan), perlahan-lahan tidak disadari mereka menjauhkan dan melupakan diri terhadap Tuhan, bahkan mempersekutukan Tuhan.” Ini berarti manusia itu hati dan jiwanya belum tertata dengan baik.

Jika dikaitkan dengan surah At-Taubah ayat 24 ada peringatan, yang isinya sangat luar biasa. Hiruk-pikuk kehidupan dunia boleh meluas dan merajalela, namun semua bersifat keduniaan ini tak boleh diutamakan dibanding ketaatan kita kepada Allah SWT.

Kul. “Katakanlah.” In Kana Abaukum. “Sekiranya bapak-bapak kamu.” Waabna ukum. “semua anak kamu” Waikhwanukum. “Dan saudara-saudara kamu.” Waajwazukum. “Dan semua pasangan kamu (suami-istri).” Waasyiratukum. “Dan keluarga kamu.” Wa amw alu ibtartumuba. “Dan harta kekayaanmu yang engkau kejar-kejar, sangat senangi, dan engkau tumpuk-tumpuk itu.” Watijaratun takhsaunakasadaha. “Dan perniagaan, perbendaharaan yang kamu takut akan kehilangan benda-benda itu mengalami rugi. Wamasaqinu tardanaha. “Dan rumah-rumah tempat tinggalmu semua tadi.” Ahabba ilakum minaullahi wa rasullih wa jihadin fi sabillih. “Lebih engkau cintai disbanding dengan cintamu kepada Allah, rasul-Nya, dan jihad fisabilillah, kepada menjalankan perintah agama.” Jadi, kalau semua tadi engkau cintai. Maka, Fatarab’asu. “Tunggulah.” Ilatta yatiyaullah hubi amiih. “Sampai Allah mendantangkan keputusan-NYA” dengan memberi azab.” Penghujung ayat ini menarik sekali diperhatikan. Wallahu layahtil qaumal fasikin. “Allah tidak akan memaksakan hidayah-Nya kepada orang-orang fasik.”

Dari rangkuman surah At-Taubah ayat 24 ini, boleh saja menjadi orang-orang yang berlebihan mencintai orang tuanya, anaknya, saudaranya, pasangannya (suami-istri), keluarganya, hartanya, perniagaannya, rumahnya dianding cintanya kepada Allah, maka orang-orang ini tergolong orang yang fasik dan merugi. Ia tidak akan diberikan hidayah oleh Allah.cinta kepada Allah mutlak, cinta kepada orang tua juga harus. Namun, kalau Allah punya keinginan, kita dahulukan sambil berikhtiar, misalnya, jangan sampai orang tua tersakiti hatinya.

Yang insyaallah tepat adalah kita mencintai orang tua, anak, semua/istri, kerabat/keluarga, urusan-urusan organisasi/perkumpulan, harta, urusan-urusan perniagaan/pekerjaan, atau rumah kita yaitu seperti yang dituntunkan oleh Allah. Tiada lain semua tadi itu hanyalah alat (baca: kendaran) saja, upaya kita meraih rida Allah SWT di muka bumi. Kalau ini bisa kita lakukan dengan baik, kita akan masuk dalam golongan orang-orang yang bukan fasik dan merugi, serta kita bisa mengajak kepada yang makruf, mencegah kepada yang mungkar, dan mengajak orang beriman kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bish showabi.[]







**Penulis adalah pengajar SD Muhammadiyah Meruyung Depok dan penggiat IMM Jakarta Timur.
***Gambar diunduh dari Pinterest.com

Komentar