CERPEN SALMAFJR: MENABUNG MIMPI


"Payungnya, Pak?" tanyaku seraya menyodorkan payung usang ke atas kepalanya.
"Tidak. Terima kasih." Lelaki paruh baya itu berlari dari depan bus menuju bawah halte.

Di terminal ini sehari-hari aku memunguti jutaan mimpiku yang berceceran. Melalui receh-receh yang aku dapatkan dari hasil mengamen. Dari bus ke bus, dari tenda ke tenda. Menjajakan suaraku yang sengau dan pas-pasan. Tidak hanya receh saja yang biasa aku terima. Kadang makanan, sebatang rokok, ceramahan, bahkan caci-makian.

Kalo aku tidak salah, mungkin seharusnya aku sudah duduk di sekolah menengah pertama sekarang. Aku sempat masuk sekolah, dulu. Waktu ayahku masih bisa menghasilkan uang. Dia adalah seorang sopir metromini. Uang penghasilannya tidak banyak. Tapi, cukup untuk makan sehari-hari dan ditabung untuk bekal beberapa hari ke depan.

Aku putus sekolah waktu ayahku terkena sakit paru-paru. Katanya karena polusi udara yang sering kali ia hirup di jalanan. Ya, jelas saja. Ayahku kan memang hidup di jalan.

Aku berhenti sekolah sekitar pertengahan kelas empat sekolah dasar. Awalnya ibuku melarang, tapi ayahku meyakinkannya bahwa tidak mungkin bisa membiayaiku sekolah bahkan hanya sampai lulus SD saja.

Ibuku terus menangis pada hari itu. Sambil terus menghitung-hitung uang tabungannya yang tak seberapa. Ayahku harus pergi berobat. Kala itu belum ada kartu jaminan kesehatan. Lagi pula, ayah dan ibuku tidaklah mengerti soal urus mengurus yang seperti itu.

Akhirnya, Ayah meminta dibawa ke dukun saja. Bukan dukun yang bisa menyajikan ajian mistis. Hanya sesepuh yang biasa menyembuhkan orang menggunakan ramuan. Karena ia sendiri yang menyebut dirinya dukun, jadilah semua menyebut ia dukun.

Aku yang pada saat itu belum begitu mengerti perdebatan orang tuaku dipaksa paham dengan segala bentuk keadaan. Setiap hari, ayah di rumah. Lalu ibu mencuci pakaian tetangga. Ketika hari pertama aku dipaksa berhenti sekolah, ibu berkata padaku lembut-lembut. Katanya, hari itu aku sudah bisa bermain dan mencari uang. Tidak perlu sekolah lagi karena biayanya mahal. Meski sudah gratis, roang tuaku tetap harus keluar biaya buku, alat tulis, seragam, dan keperluan lainnya. Kala itu aku mengiyakan, menerima dan merasa baik-baik saja. Toh aku tetap bisa bermain. Bahkan mencari uang.

Di lingkunganku, hampir semua warganya bekerja di jalanan. Jadi sopir, kernet, pengamen, pemulung, tukang ojek, bahkan ada juga yang jadi pengemis.

Saat usiaku bertambah satu tahun, ayahku memanggilku. Ia berbicara dengan wajah yang serius, begitu pun dengan nada bicaranya. Ia bilang aku harus mencari uang, agar bisa makan enak dan membeli mainan. Tentu saja itu hanya bualan. Tanpa bertanya, aku mengiyakan permintaan ayahku.

Esoknya aku dititipkan pada Bang Togar, preman di terminal tempat aku akan bekerja. Bang Togar orang baik. Ia hanya akan kasar pada orang-orang yang tidak baik. Ia melindungi seisi terminal. Ia serupa penjaga keamanan di jalanan.

Malam hari, ayah membuatkan aku mainan dari botol plastik. Lalu mengisinya dengan kerikil-kerikil. Ia mengajariku cara menggunakannya. Ternyata itu alat untuk aku bekerja. Kata ayah, aku hanya perlu bisa bernyanyi. Juga memainkan alat musik buatannya.

Sudah hampir tiga tahun aku hidup di jalan, menggantikan ayah. Suara bising kendaran menjadi lagu yang menemaniku setiap hari, kepulan asap knalpot jadi makananku, perkelahian dan lalu lalang kendaraan menjadi tontonanku. Begitulah setiap harinya.

Di jalanan, aku belajar tentang kehidupan. Mungkin aku tak paham matematika. Tapi aku sangat pandai menghitung uang. Barangkali, aku tak bisa berbahasa dengan baik dan benar. Tapi aku sudah berbincang dengan banyak orang dan beragam. Aku juga, tak bisa main alat musik yang diajarkan di sekolahan. Tapi tiap hari aku hidup dengan bernyanyi. Dengan nada dan lirik ciptaan sendiri. Yang asal-asalan, tapi didengar oleh banyak orang. Menghasilkan rupiah pula. Meski tak seberapa.

Hari-hariku begitu saja. Tapi, semakin hari aku semakin berharap pada jalanan. Pada tempatku menyusun mimpi-mimpi yang bertebaran. Pada jalanan yang mengajarkanku kehidupan. Pada kehidupan yang mengajarkanku segalanya.

Sekarang aku berada di atas trotoar tempat biasa mengamen. Hujan deras membuatku harus mengganti profesi dari pengamen menjadi tukang ojek payung. Itu lebih menjanjikan uang dari pada harus tetap mengamen di tengah hujan deras. Selain karena akan susah mencari orang, juga sudah pasti suaraku tak akan terdengar karena hilang ditelan suara hujan.

Sudah satu setengah jam aku keliling mengojeki payung orang-orang di terminal. Sudah kuyup, sudah menggigil, perutku juga sudah sangat lapar. Tapi aku tidak dapat banyak pelanggan. Hanya beberapa orang saja yang mau mengojek payungku.

Di sudut lain, beberapa orang kawan juga terlihat sedang menawarkan payungnya pada tiap orang di halte, beberapa lagi terlihat tengah berlarian ke seberang jalan tempat bus menurunkan penumpang.

"Ojek payung dong, De!" Tiba-tiba seorang Bapak memanggilku setengah berteriak. Pakaiannya sudah sedikit basah. Dia sedang berteduh di halte tempat aku berdiri sekarang.

"Boleh, Pak!" kataku sambil memberikan payungku padanya.

Selama di perjalanan menuju halte bus di seberang, Bapak itu kerap mengajakku berbicara. Hanya basa-basi seputar jalanan dan pekerjaan.

"Bagus jadi ojek payung, manfaat. Ngebantu banyak orang. Asal jangan kerja yang tidak baik," katanya tersenyum sambil memberikan payungku dan dua lembar uang lima ribuan.

"Semuanya, Pak?" tanyaku takut-takut ia salah memberi uang.

"Iya, buat ditabung," jawabnya, lalu ia pergi mengahampiri bus tujuannya.

Aku kembali berjalan menyusuri trotoar tempatku biasa berharap pada kehidupan. Jalanan becek yang berlubang merendam kakiku yang sudah dekil menjadi semakin kotor. Di jalanan, terdengar para pengendara mengklakson kendaraannya dengan tidak sabar. Memuakkan. Memekakkan telinga. Kawan-kawanku menepi ke pinggir jalan. Tanda sudah usai pencarian mereka hari ini.

Matahari tenggelam, hujan pun mulai mereda. Tubuhku masih kuyup, masih menggigil dan perutku semakin lapar. Tapi aku tak mau makan sekarang. Uangnya mau aku tabung.[]

Salmafjr, 22 mei 2018


*Gambar diunduh dari sini.

Komentar