Author: Ahmad Sholeh
Siang itu (Rabu, 11/4/2018) cuaca di Pasar Minggu, Jaksel, mendung tak karu-karuan. Sekira pukul 14.00 siang, hujan turun lumayan deras dan membuat jalanan jadi becek. Beberapa waktu berselang, hujan pun berhenti. Berganti panas yang lumayan menyilaukan mata. Saya pun mulai bersiap-siap untuk berangkat naik ojek daring dari kos-kosan menuju Stasiun Tanjung Barat. Jelas, tujuan utama saya adalah menuju Istana Negara, tempat digelarnya aksi memperingati satu tahun kasus penyiraman Novel Baswedan #tiktoknovel.
Stasiun Tanjung Barat jaraknya tak begitu jauh dari kos-kosan saya. Cukup dengan uang Rp 9.000 saja kita bisa sampai dengan selamat. Dalam waktu lima menit saya tiba di jembatan penyeberangan seberang stasiun. Suasananya memang tak begitu ramai. Hanya satu-dua orang lalu lalang. Terlihat beberapa pedagang kaki lima di bawah jembatan penyeberangan. Saya pun membeli otak-otak bakar yang dijajakan penjual bersepeda. Sedikit mengisi tenaga. Setelah itu saya melintasi jembatan penyeberangan. Tak seperti biasanya, tak saya temui antrean panjang di bilik tiket stasiun saat itu. Hanya ada dua orang petugas di balik bilik yang terlihat sedang menunggu pembeli tiket kereta harian.
Saya pun masuk stasiun. Duduk di kursi besi panjang yang agak basah, sisa hujan barusan tadi. Bisa dihitung jari, ada berapa orang yang sedang menunggu kereta di sana. Orang-orang itu pasti memiliki tujuannya masing-masing. Sementara saya menanti dua kawan berinisial Salma dan Tiffany yang berangkat dari Stasiun Lenteng Agung, satu stasiun sebelum Tanjung Barat.
Beberapa waktu sebelumnya, sembari menunggu kereta, saya mencari-cari informasi di Google yang serbatahu itu. Katanya, kalau mau ke Monas turunlah di Gondangdia, lalu naik Kopaja AC atau non-AC. Pilihan keduanya adalah turun di Stasiun Juanda, lalu berjalan kaki beberapa menit melalui Masjid Istiqlal. Tak jauh dari situ lokasi aksi yang kami tuju.
Namun, dua kawan saya itu kadung memesan tiket jurusan Gondangdia. Alhasil, saya dan dua kawan saya itu memutuskan untuk turun di (oh Tuhan…) Gondangdia, Godangdia, di Gondangdia.
Suasana kereta sepi. Gerbong terlihat lengang dan kosong. Begitu pun tempat duduknya, dari beberapa gerbong yang saya lewati selalu ada kursi yang lowong. Akhirnya saya memutuskan duduk di gerbong nomor delapan. Sementara Salma dan Tiffany berada di gerbong tiga. Ya, kami terpisah beberapa gerbong yang cukup jauh.
Singkat cerita, kami pun tiba di Gondangdia. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami shalat Ashar di mushala dalam stasiun. Mushalanya lumayan luas dan nyaman. Ditambah suasana stasiun yang tidak begitu ramai. Di sana juga tersedia sandal jepit yang bisa dipakai untuk berwudhu. Setelah shalat, kami pun berjalan menuju lokasi aksi. Kira-kira 20-30 menit. Kami memutuskan untuk berjalan kaki, itung-itung olahraga membakar kalori sambil menikmati riuhnya suasana Jakarta.
Di tengah perjalanan kami sempat tersasar. Yang seharusnya ke Jalan Merdeka Utara, kami malah ke Jalan Merdeka Selatan. Kebetulan juga di sana ada aksi buruh yang juga cukup ramai, meski tak membuat jalan macet. Awalnya kami pikir itulah aksi yang kami tuju, ternyata bukan. Akhirnya kami putar balik, memutar haluan dan terpaksa meminta bantuan sang Google Map di smartphone kami. Langkah demi langkah pun kami nikmati sambil sesekali bergurau.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, dan kami masih harus berjalan sekitar tujuh menit untuk mencapai lokasi. Lelah kaki berjalan pun kamu nikmati saja. Sambil sesekali berharap ada tukang gorengan di depan mata, dan nyatanya tak juga kami temui.
Kami pun akhirnya tiba di lokasi. Meski terlambat sekitar satu jam, suasana masih ramai. Terlihat beberapa kamera media lokal dan nasional menyoroti jalannya aksi. Orang-orang berbaju hitam pun terlihat berkerumun sambil menikmati alunan musik rap Bang Igor ‘Saykoji’. Beberapa pamflet terpampang dengan tulisan “Jokowi, Novel Butuh Keadilan”, “365 Novel Baswedan”, “Jokowi, Jangan Tunggu Polisi Nyerah”, dan ada beberapa gambar wajah Novel yang dikenakan peserta aksi.
Tentu saja, agenda aksi hari itu memang menyuarakan keinginan kami agar Presiden segera membentuk TGPF (tim gabungan pencari fakta) untuk mengusut kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, satu tahun silam. Meski, sudah kita ketahui, kasus ini tengah ditangani pihak kepolisian yang katanya akan bersungguh-sungguh menangani kasus ini.
Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sementara kemajuan terhadap kasus tersebut terlihat jalan di tempat saja. Itulah setidaknya suara hati massa aksi dengan hastag #tiktoknovel sore itu. Di sana terlihat juga beberapa kawan saya yang sudah tiba lebih dahulu. Kami khidmat mengikuti agenda yang tersisa. Beberapa orang bergiliran membacakan puisi yang berisi suara lirih, kerinduan pada keadilan, dan semacam obat penawar lupa bahwa kasus pelecehan paling nyata terhadap perlawanan korupsi di negeri ini masih belum menemui keadilannya. Bisa saja, dalang dari kasus penyiraman sir keras ini adalah seorang koruptor kakap.
Selain pembacaan puisi, ada juga yang menyuarakan kegelisahannya lewat musik seperti Bang Igor Saykoji tadi, Melanie Soebono, dan ada juga Simfonii Band yang membawakan lagu “Sebelah Mata” dari Efek Rumah Kaca. Itulah puncak acara hari itu. Semua massa yang hadir khidmat menyanyikan lagu “Sebelah Mata”. Seperti yang kita ketahui bahwa insiden penyiraman air keras itu telah membuat mata kiri Novel Baswedan mengalami kerusakan cukup parah.
Aksi massa yang khidmat dan damai. Itulah yang kami rasakan. Sampai selesainya aksi sore itu, massa bubar dengan tertib. Satu yang dituntut oleh massa. Kasus ini harus diusut sampai tuntas. Sampai ditangkap siapa pelakunya, siapa dalangnya. Presiden harus membentuk TGPF untuk mempercepat prosesnya, tak perlu menunggu polisi berkata “menyerah”. Karena kata berbunyi “keadilan” harus hadir dalam hukum kita. Terlebih, insinden ini menimpa pejuang antikorupsi yang berani mengorbankan nyawanya demi martabat bangsa ini. Semoga saja telinga Presiden belum tuli untuk mendengar suara yang kami dengungkan dalam aksi ini.
Sore pun tiba, warna langit senja menyeruak begitu indah. Pucuk Monas terlihat menyala dari kejauhan, lampu-lampu jalan pun mulai memancarkan cahaya, menambah indahnya sore itu. Sementara jalanan seperti biasa, padat meski tak macet. Beberapa orang terlihat lalu lalang di trotoar sekeliling Monas. Terlihat ibu-ibu sosialita sedang bercengkerama dengan koleganya, ada remaja yang sedang berselfie-selfie ria, ada yang sedang berfoto dengan latar belakang tugu Monas, dan kami memutuskan untuk menutup perjalanan kami sore itu dengan mampir sejenak di Galeri Nasional, sambil sejurus kemudian menempuh jalan pulang. ed. sho.
Komentar
Posting Komentar