PUISI HAMKA UNTUK TJOKROAMINOTO
Engkaulah "Umar" dalam gagahmu,
ksatria besar di wathan kami.
Engkaulah "Said" lembang bahagia,
jadi teladan kepada umat.
Engkaulah "Syukur" pembimbing kami,
pembawa suluh, ikatan kami.
Engkaulah "Amin" teguh setia,
sudi berkurban, pegang amanat.
*Puisi ini ditulis HAMKA dan disiarkan lewat majalah Pedoman Masyarakat untuk mengenang Tjokroaminoto.
KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR
Di pertengahan 1950-an itu ...
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaummu
Ke mana lagi, Natsir ke mana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu
Hamka, 13 November 1957
*Puisi ini ditulis oleh Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar uraian pidato Muhammad Natsir di depan Sidang Konstituante yang mendapat penentangan dan penolakan keras dari PKI. Muhammad Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia.
HANYA HATI
Gajiku kecil
Pencaharian lain tak ada
Kicuh buku aku tak tahu
Korupsi aku tak mahir
Berniaga aku tak pandai
Kau minta permadani
Padaku hanya tikar pandan
Tempat berbaring tidur seorang
Kau minta tas atom
Padaku hanya kampir matur
Kau minta rumah indah perabit cukup
Lihatlah! Gubukku tiris
Kau minta kereta bagus
Aku hanya orang kecil
Apa dayaku
Kekayaanku hanya satu, dik
Hati
Hati yang luas tak bertepi
Cinta yang dalam tak terajuk
HAMKA, 1948
HATI SANUBARI
Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;
Kemudian tuan bebas memberi saya nama
dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf,
dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.
Cuma rasa hati sanubari itu
tidaklah dapat saya menjualnya;
Katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
Adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?
HAMKA
BIAR MATI BADANKU KINI
Payah benar menempuh hidup
Hanya khayal sepanjang hidup
Biar muram pusaraku sunyi
Cucuk kerah pudingnya redup
Lebih nyaman tidur di kubur
HAMKA
RODA PEDATI
Nasib makhluk adalah laksana roda pedati
Ia turun dan ia naik, silih berganti
Demikian kehendak Tuhan Rabbul Izzati
Kita menunggu kadar,
kita berharap dan menanti..
HAMKA
DI ATAS RUNTUHAN KOTA MELAKA
Di atas runtuhan Melaka
Lama penyair termenung seorang diri
ingat Melayu kala jayanya
pusat kebesaran nenek bahari
Di sini dahulu laksamana Hang Tuah
satria moyang Melayu sejati
jaya perkasa gagah dan mewah
"tidak Melayu hilang di bumi"
Di sini dahulu payung berkembang
megah bendahara Seri Maharaja
bendahara cerdik tumpuan dagang
lubuk budi laut bicara
Pun banyak pula penjual negeri
mengharap emas perak bertimba
untuk keuntungan diri sendiri
biarlah bangsa menjadi hamba
Inilah sebab bangsaku jatuh
baik dahulu atau sekarang
inilah sebabnya kakinya lumpuh
menjadi budak jajahan orang
Sakitnya bangsaku bukan di luar
tapi terhunjam di dalam nyawa
walau diubat walau ditawar
semangat hancur apakan daya
Janji Tuhan sudah tajalli
mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkir janji
tarikh riwayat jadi pedoman
malang mujur nasibnya bangsa
turun dan naik silih berganti
terhenyak lemah naik perkasa
tergantung atas usaha sendiri
Riwayat lama tutuplah sudah
sekarang buka lembaran baru
baik hentikan termenung gundah
apalah guna lama terharu
Bangunlah kekasih ku umat Melayu
belahan asal satu turunan
bercampur darah dari dahulu
persamaan nasib jadi kenangan
Semangat yang lemah buanglah jauh
jiwa yang kecil segera besarkan
yakin percaya iman pun teguh
zaman hadapan penuh harapan
HAMKA
BERJUMPA PULA
Oh kau kiranya, bertemu pula
Setelah 15 tahun kita berpisah
Janganlah gugup. Sudahkah sembuh luka hatimu?
Di aku sudah! Tapi payah aku melipur jejaknya
Parutnya masih berkesan di dadaku
15 tahun, bertemu pula
Setelah kita lalui jalan hidup masing-masing
Maafkan daku. Bersiapakah aku mestinya
Adinda, kekasih, juwita yang pernah kuucapkan di mukamu dulu
Atau dalam surat-surat yang pernah kukirimkan
Tidak ‘kan kuucapkan lagi
Aku takut,
Obat lekat pantang terlampau
Kembali penyakit lama
–Ah, tidak; Aku mulai tua
15 tahun
Sudah berapakah anakmu
Adakah suamimu sehat saja
Beruntung dalam rumah tangga
–Tak usah gugup!
15 tahun
Melihat kau sekarang, kuteringat kau yang dulu
Kau yang ada dalam kenanganku
Kau yang tergambar dalam hatiku
Aku teringat
Mudaku dan mudamu
Semasa kita masih menyangka, alam boleh sekehendak kita
Padahal: Takdir tak mengizinkan kita bertemu
Hidup kita tak dapat dipadu menjadi satu
Kau mengambil jalanmu sendiri – terpaksa atau tidak
Dan aku pun
Mengambil jalanku pula
15 tahun
Aku telah berjalan, dan berjalan jua
Tapi dalam sudut hatiku, kau telah menjadi pelita yang hidup
Kaulah pelitaku
Tanglongku
Dalam kegelapan malam yang senyap sunyi
Sehingga aku menjadi aku
Walaupun kau tak merasa. Barangkali
15 tahun
Tertawa aku, tertangis aku
Tersenyum tersedu
Mendaki ku menurun
Melereng ku mendatar
Pernah kunaik, pernah kujatuh
Jatuh dan bangkit lagi, lalu berjalan jua
Sahaja mati yang belum kurasai
Sehingga aku menjadi aku
Dan perjumpaan kita, 15 tahun yang telah lalu
Adalah pendorong perjuangan hidupku
Hari ini
Setelah 15 tahun
Kita pun berjumpa pula
Aku dengan engkau
Kau yang sekarang
Maka teringatlah aku. Kau yang dulu
Kalau bukan lantaran kau yang dulu
Tentulah air mataku tidakkan titik ke bumi
Garam hidupku yang kulalui
Air mata itulah yang kususun kembali
Sesudah dia jatuh berderai bagai manik putus pengarang
Kujadikan gubahan buat kau. Kau yang dulu
Sehinggaku menjadi Aku
15 tahun…
Alangkah cepatnya putaran zaman
Wahai orang yang sekian lama terlukis di sudut hatiku
Jangan engkau salah terima, Wahai kau yang sekarang
Sekiranya aku melihat tenang. Merenung wajahmu
Izinkanlah sejenak, aku mencari, mencari
Aku ini kehilangan
Dia. Dia akan kucari dalam ruang matamu
Kau yang dulu
Berjalan lurus, dan teruslah
Pikullah kewajiban yang telah ditentukan Tuhan
Buat kau. Dan aku pun
Meneruskan jalanku pula
Berjalan dan berjalan jua
Mendatar, melereng, mendaki dan menurun
Kau lihat. Rambut putih telah mulai berjuntai di ubun-ubunku
Kau lihat. Tiga garis telah mulai ada di keningku
Alamat, sengitnya perjuangan yang telah kutempuh dulu dan kuhadapi lagi
Marilah sama-sama, meneruskan perjalanan
Melaksanakan hayat
Jauh… dan jauh lagi
Hanya sebuah harapanku tinggal
Semoga usia sama panjang
Dapat berjumpa pula 15 tahun yang akan datang
Mau atau tidak mau
Kau… dan aku….
HAMKA
Komentar
Posting Komentar