ESAI: BUKU SOSIALIS HARGA KAPITALIS



[PERSOALAN KITA DEWASA INI]
Buku menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan. Bahkan kita mengenal adagium “buku adalah jendela dunia” kan, gengs. Bacaan buku setiap orang berbeda-beda sesuai dengan selera, minat, fokus kajian, tren, dan alasan-alasan lainnya. Ada penyuka buku pemikiran, politik, sastra fiksi, sastra wacana, motivasi, relijius, dan banyak lagi macamnya. Maka dari itu, pasar buku seolah tak pernah habis. Bahasan-bahasannya pun kian beragam dan selalu menyentuh hal-hal vital dalam kehidupan kita. Sehingga kita merasa perlu, merasa butuh.

Nah, dari semua jenis manusia yang suka membaca buku, ada satu jenis manusia yang suka membaca wacana-wacana sosial. Tentu saja hal itu guna menemukan jati dirinya sebagai human, people, civil, dan subjek sosial. Manusia jenis ini pasti sukanya baca buku-buku pergerakan sosial, atau buku-buku kiri, sosialis, marxis, dll. Ya, sosialis belum tentu marxis, leninis, atau maois. Apalagi mereka yang ngaku-ngaku kiri, tapi minim referensi.

Tapi, dewasa ini sering kali kita terbentur oleh cita-cita utopis para sosialis itu. Bagaimana bisa seorang sosialis membaca buku-buku, yang buku-bukunya itu dibeli dengan sistem kapitalis, harga kapitalis, yups bisnis dengan profit oriented. Utopis bukan?

Ah, tidak juga. Ide itu memang mahal. Apalagi, kalau sudah dijadikan buku, diterbitkan, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, bahasa martketingnya internasional best seller, pasti mahalnya bukan kepalang. Tak terbilang. Coba saja, Das Kapital yang tiga jilid itu, si penulisnya juga seorang sosialis tulen. Lha, tapi kok dijual dengan harga mahal sangat ya. Mahal, karena ide-ide besarnya memang menjual, diminati, dan menarik untuk dikaji. Dus, ide kekirian bahkan ide antikapitalisme juga bisa jadi bahan jualan oleh para kapitalis itu sendiri. Ajaib!

Lalu, di mana perlawanan kaum antikapitalis? Kalau referensinya saja sudah dimonopoli oleh sistem yang kapitalis? Atau, jangan-jangan ide-ide sosialis begitu utopis atau benar-benar utopis? Atau memang kita sudah betul-betul dimonopoli oleh kelompok pemodal yang jumlahnya cuma satu persen di seluruh dunia?
Selama kesenjangan masih dirasakan, selama itu pula perjuangan keadilan sosial akan tetap ada. Dan selama perjuangan itu pula, musuh dari perjuangan itu akan tetap ada. Maka dari itu, ide-ide yang mahal itu hendaknya jangan cuma menjadi ide belaka. Jika baik, bisa kita diterapkan. Jika tidak baik, jangan, cukup menjadi referensi saja.

Karena setiap kehidupan memiliki “persoalan-kita-dewasa-ini”-nya masing-masing. Begitu pun dengan ide (pemikiran). Ide memiliki konteksnya sendiri. Artinya, konteks saat ini perlu kira respons dengan ide genuine kita sendiri, yang kita rumuskan dengan nalar kita sendiri. Ya, tapi jangan juga “alerhi” terhadap referensi-referensi dari manapun datangnya. Jadi, bagaimana sikap kita meyikapi persoalan kita dewasa ini? author. sho

Komentar