ESAI: TAFSIR KRITIS ALI IMRON 110 (PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO-BAGIAN II)



Halo, Gaes! Dalam tulisan sebelumnya (bagianI) kita sudah bahas awal kemunculan Ilmu sosial profetik atau ISP dalam wacana keislaman dan ilmu sosial. Nah, sekarang kita bakal bahas mengenai landasan teologisnya nih, gengs.
ISP secara konseptual merupakan tafsir kritis Kuntowijoyo terhadap surah Ali Imran ayat 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Dalam ayat itu setidaknya ada empat hal penting yang perlu kita bedah nih gaes. Empat hal yang dikatakan Kuntowijoyo itu, yaitu (1) konsep umat terbaik/khairuu ummah, (2) aktivisme atau keterlibatan manusia dalam sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etika profetik.
Umat terbaik dalam ayat tersebut, menurut Kuntowijoyo, bukan hanya merujuk pada satu kaum atau golongan pada waktu tertentu. Tapi lebih kepada harapan dan tujuan umat Muslim dalam menjalankan kehidupannya. Khairuu ummah akan tercapai hanya jika kita bisa melaksanakan etika profetik. Yaitu, humanisasi (ta’muruuna bil makruf), liberasi (tanhauna anil mungkar), dan transendensi (tu’minuuna bilah). Nah, etika profetik ini, sobat, merupakan akar dari konsepsi ISP.
Selanjutnya, aktivisme atau keterlibatan manusia dalam sejarah. Aktivisme manusia dalam melakukan perubahan sosial dalam masyarakat merupakan hal yang penting. Menurut Kuntowijoyo, kita harus terlibat aktif dalam perubahan, bukan hanya mengamati dan memahami gejala-gejala sosial belaka, gengs. Duh, berat ya.
Hal ini pula berkaitan dengan pentingnya kesadaran (consciousness) individu terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Setiap amal perbuatan tak terlepas dari kesadaran kemanusiaan dan ketuhanan. Bahwa keislaman seseorang tidaklah kafah jika belum menjalani hidup sebagai ibadah.
Secara sederhana Kuntowijoyo mengungkapkan, “Seorang sastrawan yang karya sastranya tidak diniatkan untuk beribadah, maka keislamannya belumlah kafah (utuh).” Nah, penting buat kita refleksikan ya, sobat. Bahwa untuk mencapai cita-cita Islam dan keislaman yang utuh, kita harus bisa aktif mengawal perubahan dan meniatkan segala sesuatu sebagai bentuk ibadah. Wallahu a’lam.[sho]

Komentar