OPINI: KONTROVERSI PUISI (ATAU) ESAI (?)



Hai gengs! Pernah dengar tentang puisi esai yang digagas Denni JA? Ada beberapa hal saya pikir perlu dijelaskan (dipertegas) terkait puisi esai. Agar kita tidak terjerumus dalam sebuah paradoks yang hakiki ya gengs. Okelah, berkarya itu harus mengusung kebebasan. Dan memang bebas. Apalagi memunculkan sesuatu yang baru. Oke oke aja tho.
Tapi gini, pertama, puisi dan esai adalah dua jenis karya tulis yang berbeda. Eko Tunas bercerita, Sapardi Djoko Damono pada tahun 1966 pernah mengirim surat kepada HB Jassin. Dalam suratnya itu Sapardi menyebutkan bahwa "puisi ya puisi, esai ya esai, tidak bisa digabungkan."
Puisi disebut karya sastra karena dia merupakan produk sastra. Dengan ciri khas bahasa kiasan, ambiguitas, rima, irama, intonasi, rasa, dll. Nah, sekarang bisakah esai disebut sebagai produk/karya sastra? Ini nih yang jadi PR Denny JA dan pengikutnya. Sekalipun dalam esai populer memang kadang kita jumpai bahasa-bahasa sastrawi, tentu hal itu agar menimbulkan rasa nyaman ketika dibaca. Tapi, menurut saya itu tidak cukup untuk menjadikan esai sebagai karya sastra.
Kedua, secara teknis, menulis esai dan menulis puisi jelas berbeda. Menulis puisi jelas kita mengandalkan imajinasi, riset (pengamatan), perenungan, penghayatan, dan semacamnya untuk membungkus realitas imajiner ke dalam diksi bahasa dan ungkapan-ungkapan indah. Sedangkan menulis esai, tegas berisi gagasan dan pembahasan suatu masalah dengan menggunakan data dan fakta yang ada, lugas, dan logis-realistis. Ditambah referensi, teori, dan argumentasi agar kian berbobot.
Secara hakikat, keduanya merupakan medium mengungkap gagasan, ide, kegelisahan, dan perasaan. Namun, perlukah kemudian puisi menggunakan footnote, yang katanya dalam puisi esai--saya lebih setuju menyebutnya esai puitis--minimal ada 10 footnote. Standardisasi yang entah disepakati oleh siapa.
Ketiga, klaim kebaruan yang diusung puisi esai. Betulkah bentuk ini merupakan sesuatu yang baru? Jika yang dimaksud adalah puisi/syair sebagai respons atas realitas, jelas itu bukan hal baru. Kita mengenal para penyair seperti Rendra, Cak Nun, Thukul, dll yang juga menulis puisi atas respons, ungkapan, protes, gambaran, terhadap realitas. Bahkan, kata Eko Tunas dalam debat pro-kontra puisi esai, puisi esai sudah ada sejak tahun 1952, yaitu ditulis oleh P Sengojo penyair asal Boyolali yang menulis puisi esai hingga 20 halaman.
Lalu apa yang diklaim sebagai kebaruan? Ya, sejauh ini yang disebut "bentuk baru" itu mungkin hanya pencampuradukan esai dan puisi dengan bubuhan footnote dan data-data hasil riset yang dicantumkan sebagai penguat argumentasi idenya.
Padahal, hasil riset itu sifatnya ilmiah. Sesuatu yang ilmiah, setahu saya bersifat netral, tidak memihak. Lantas  buat apa bikin puisi kalau tidak memihak atau tidak memiliki keberpihakan? Kalau sekadar untuk memuat informasi agar pembaca tahu data-data yang dilampirkan, cukuplah dibuat esai dengan bahasa yang puitis---atau sebut saja esai puitis. Gimana?
[sholeh]

Komentar